Upaya untuk melindungi konsumen digital masih perlu ditingkatkan, salah satunya dengan merevisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
“Upaya preventif melalui edukasi konsumen dan literasi keuangan yang lebih baik juga diperlukan untuk memastikan perlindungan konsumen, yang saat ini terutama diatur oleh UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur hak dan kewajiban konsumen dan penjual,” jelas Media Relations Manager Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Vera Ismainy dalam pelaksanaan DigiWeek 2023, Selasa (11/7/2023).
Pada 2021, Asosiasi Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat, pengaduan terhadap industri jasa keuangan mencapai 49,6 persen dari seluruh pengaduan yang diterima. Sekitar 22 persen diantaranya terkait dengan perusahaan pemberi pinjaman peer-to-peer (P2P) ilegal.
E-commerce mengikuti di belakang di tempat kedua, dengan 17,2 persen keluhan, sebagian besar terkait pengiriman, konsumen gagal menerima produk yang mereka pesan, dan kualitas produk.
Meskipun pemerintah telah melakukan upaya untuk memperbarui peraturan untuk memenuhi jaringan ekonomi digital, perbaikan yang signifikan masih diperlukan untuk menegakkan peraturan secara efektif.
Undang-undang tersebut mulai berlaku pada April 2000, beberapa dekade sebelum transaksi digital mulai berkembang pesat. Namun, pemerintah telah mengadopsi undang-undang dan peraturan baru untuk mengikuti perkembangan industri yang dinamis dan cepat.
Tercatat, pada Mei 2022, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperbarui ketentuan tentang perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan melalui Peraturan OJK (POJK) No.6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan baru yang menggantikan POJK No 1/POJK.07/2013 ini memuat kewajiban keterbukaan dan transparansi terkait layanan dan informasi produk, serta penyempurnaan persyaratan terkait perlindungan data dan informasi konsumen.
Selain itu, pada Oktober 2022, DPR juga mengesahkan undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang telah lama ditunggu-tunggu, yang menetapkan persyaratan untuk pemrosesan data dan hak pribadi.
Entitas yang memiliki atau mengolah data diberikan tenggang waktu dua tahun untuk mematuhi peraturan tersebut. Namun, peraturan saja tidak cukup untuk mengatasi masalah ini, karena tindakan penegakan hukum dan pencegahan juga memainkan peran kunci.
Meskipun PDP yang baru disahkan membahas sebagian besar masalah perlindungan data, Kementerian Komunikasi dan Informatika masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk membuat peraturan pelaksanaan.
Selain itu, pemerintah masih perlu menjawab kritik terhadap undang-undang tersebut, termasuk netralitas dan independensi lembaga pengawas perlindungan data yang akan ditunjuk oleh Presiden.
Upaya tersebut perlu dibarengi dengan peningkatan kesadaran konsumen dan literasi keuangan konsumen, terutama dalam mengambil keputusan tentang produk dan layanan keuangan.
Literasi keuangan yang lemah dapat menyebabkan konsumen membuat keputusan keuangan yang kurang informasi, terjebak dalam perangkap utang, atau jatuh ke dalam produk investasi ilegal.
Industri e-commerce dan financial technology (fintech) telah secara signifikan mengubah hubungan konsumen dengan pemilik bisnis, tidak terkecuali Indonesia, yang memiliki tingkat adopsi e-commerce tertinggi di dunia, dengan sebanyak 90 persen pengguna internet berusia antara 16 dan 64 tahun terlibat dalam transaksi online.
Comentarios