top of page
Gambar penulisBhimanto Suwastoyo

Program Food Estate: Jalan menuju Swasembada Pangan yang Penuh Rintangan

Program food estate sampai sekarang belum terbukti ampuh dalam meningkatkan produksi pangan, namun nampaknya tetap akan digunakan pemerintah yang akan datang untuk mewujudkan swasembada pangan yang dicita-citakan.


Penegasan Presiden Joko “Jokowi” Widodo bahwa pemerintah yang akan datang, dibawah penggantinya, Prabowo Subianto, akan fokus pada usaha mencapai swasembada pangan dan energi mencuatkan kembali isu program Food Estate yang telah banyak menuai kritik.


Dalam berbagai kesempatan Prabowo telah memperlihatkan dukungnya kepada program food estate, termasuk sebagai salah satu elemen kunci dalam cita-citanya mewujudkan kedaulatan pangan bagi negeri ini dengan mengembangan pertanian skala besar di berbagai daerah.


Selain untuk kebutuhan pangan, tanaman yang dibudidayakan seperti tebu dan jagung juga dapat digunakan untuk menghasilkan bioetanol yang akan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.


Program ini diluncurkan pemerintah Presiden Jokowi sebagai bagian dari Proyek Strategi Nasional untuk 2020-2024 dan bertujuan menciptakan kawasan-kawasan pertanian terpadu yang menyatukan pertanian, perkebunan dan peternakan di daerah-daerah seperti di Kalimantan Tengah, Sumatra Utara dan Papua.


Program serupa dalam upaya ketahanan dan swasembada pangan sudah ada sejak 1995 (Proyek Lahan Satu Juta Hektar) di Kalimantan Tengah, Lumbung Pangan di Merauke, Bulungan, dan Ketapang (2010-2013), Cetak Sawah di 28 provinsi (2014-2017).


Tujuan utamanya adalah meningkatkan produksi bahan pangan pokok seperti beras, jagung dan singkong untuk menekan ketergantungan pada impor. Program ini menargetkan penggunaan lahan terbengkalai atau yang tidak digunakan secara efektif untuk tujuan produktif, termasuk lahan gambut, untuk dijadikan kawasan pertanian yang produktif.


Program pertanian skala besar ini juga diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi di kawasan pedesaan.


Namun program ini nyatanya sampai sekarang belum mampu memperlihatkan kontribusi seperti yang diharapkan dan bahkan banyak menuai kritik sebagai sumber kerusakan lingkungan dan keragaman hayati serta telah menimbulkan berbagai ketegangan sosial.


Konversi lahan gambut maupun hutan menjadi lahan pertanian telah menimbulkan berbagai kecemasan terutama di kalangan pegiat lingkungan. Kritik yang dilontarkan terhadap konversi lahan ini termasuk mengakibatkan deforestasi, kehilangan keragaman hayati maupun peningkatan emisi gas rumah kaca.


Pemberitaan mengenai program food estate di beberapa daerah juga menunjukan perencanaan maupun pelaksanaan program yang lemah. Di Kalimantan Tengah misalnya, sejumlah areal yang luas yang ditanami singkong telah ditelantarkan karena buruknya tata

kelola serta kurangnya pendanaan.


Program food estate juga menghadapi resistensi dari masyarakat setempat, terutama dari golongan penduduk asli yang tidak saja tidak diikutsertakan dalam perencanaan food estate

di daerah mereka, tetapi juga kehilangan lahan serta sumber kehidupan tradisional mereka.


Beberapa pakar juga mempertanyakan kelayakan program ini secara ekonomi, dengan menunjuk kepada biaya tinggi yang diperlukan untuk mengembangkan infrastruktur yang dibutuhkan serta Tingkat Pengembalian Investasi (ROI) yang tidak pasti.


Meskipun menghadapi kritikan luas serta tantangan berat, pemerintah terus mendorong program food estate ini dan bahkan memperluasnya ke berbagai daerah.


Program food estate juga harus mengatasi tantangan lain seperti halnya yang dihadapi sektor pertanian dan perkebunan pada umumnya, seperti produktivitas yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan fluktuasi cuaca.


Fenomena alam seperti El Niño dan La Niña dapat mengakibatkan kekeringan maupun curah hujaan yang luar bisa yang dapat berujung pada kegagalan maupun kerusakan panen.


Tidak dapat diprediksinya peristiwa alam seperti ini juga menyulitkan perencanaan serta pelaksanaan strategi pertanian yang efektif. Banyak daerah, terutama di luar pulau Jawa masih kekurangan infrastruktur yang memadai seperti sistem irigasi, jaringan jalan dan fasilitas pergudangan, yang kesemuannya elemen penting bagi produksi maupun distribusi hasil pertanian yang efisien.


Juga masih diperlukan usaha untuk memodernisasi praktik-praktik pertanian tradisional melalui adopsi teknologi serta mekanisasi. Ini memerlukan investasi yang cukup besar serta juga pelatihan bagi para petaninya.


Tata kelola air yang efektif sangat penting bagi pertanian, terutama di daerah-daerah yang rentan kekeringan. Pemerintah memang telah fokus dalam penyediaan pompa air serta perluasan sistem irigasi namun usaha ini masih perlu ditingkatkan secara signifikan karena memastikan tersedianya pasokan air yang cukup merupakan salah satu elemen kunci dalam pertanian.


Sektor pertanian di Indonesia dicirikan oleh angkatan kerja yang menua dan program food estate juga perlu tidak saja mampu menarik talenta muda tetapi juga harus mampu menahan mereka untuk terus bekerja di sektor ini.


Program food estate merupakan usaha berani untuk mewujudkan swasembada pangan dan meningkatkan pembangunan di daerah pedesaan di Indonesia namun keberhasilannya akan sangat bergantung kepada bagaimana pemerintah menangani tantangan-tantangan di bidang lingkungan sosial dan ekonomi. 


Secara umum, data menunjukkan bahwa program food estate ini belum menghasilkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan produksi pangan atau memastikan swasembada.


Dampak program ini pada komunitas setempat serta lingkungan juga telah banyak

menimbulkan kritikan.


Walaupun program ini masih belum berjalan lama dan sukses atau kegagalannya belum dapat dipastikan, tantangan yang dihadapinya serta kritik yang dialamatkan padanya menggarisbawahi kerumitan dalam mencapai swasembada pangan melalui proyek proyek pertanian berskala besar.

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


Commenting has been turned off.
bottom of page