Ditayangkan pertama kali oleh Katadata (10/7/2022)
Meningkatnya digitalisasi di beragam sektor penyokong perekonomian Indonesia telah membuat pertumbuhan ekonomi digital di negara ini tertinggi di Asia Tenggara. Hal ini membuat Indonesia berpeluang menjadi digital economy powerhouse. Terlepas dari semua itu, apakah pertumbuhan ini sudah inklusif?
Berbicara mengenai inklusi ekonomi digital membuat kita perlu menelisik beberapa faktor pendukung, karena pada hakekatnya inklusivitasnya tidak akan dapat terwujud tanpa akses dan kesempatan yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kita perlu melihat inklusi keuangan dan sejauh mana transformasi digital di Indonesia telah dirasakan masyarakat.
Inklusi keuangan adalah tersedianya akses ke berbagai lembaga, produk dan layanan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, serta memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Setiap anggota masyarakat harus dapat mengakses berbagai layanan keuangan formal.
Terkait layanan keuangan, survei nasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan perusahaan sistem pembayaran digital (e-payment) adalah yang paling umum ditemukan dalam lanskap fintech Indonesia dengan 29 persen. Posisi berikutnya diduduki fintech yang menyediakan layanan pinjaman (fintech lending) sebesar 25 persen, kemudian manajemen kekayaan sebesar 22 persen, teknologi keuangan dan akuntansi sebesar 13 persen, teknologi perbankan sebesar lima persen.
Menyusul berikutnya adalah teknologi asuransi sebesar empat persen, blockchain dalam layanan keuangan sebesar tiga persen, dan teknologi regulasi (regtech) dengan dua persen. Pentingnya pembayaran digital juga terlihat dari pertumbuhan nilai transaksi.
OJK melaporkan, dari 2012 hingga 2017, transaksi uang elektronik tumbuh enam kali lipat, mencapai Rp 12,3 triliun. Bahkan angkanya lebih tinggi selama pandemi dengan pertumbuhan luar biasa mencapai Rp 22 triliun tahun 2020 dan Rp 35,1 triliun tahun 2021.
Sebagai negara berkembang dengan persentase unbankable population tertinggi, dengan lebih dari separuh penduduknya, termasuk dalam kategori tersebut di tahun 2022, Indonesia telah menjadikan isu inklusi keuangan sebagai prioritas utama dalam kebijakannya. Kegiatan ekonomi kategori ini didominasi oleh Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang mendorong praktik penjualan, pembayaran, pekerjaan serta sirkulasi modal di tingkat akar rumput.
Memastikan inklusi keuangan sekaligus mendorong pertumbuhan UMK karenanya sudah menjadi keharusan. Sektor pembayaran memegang peran sangat penting dalam mendukung efisiensi transaksi, pelaporan keuangan dan pertumbuhan bisnis.
Menyikapi hal ini, pemerintah dan sektor swasta telah mencoba merevolusi sistem pembayaran yang ada melalui digitalisasi. Bank Indonesia juga telah mengembangkan Cetak Biru Sistem Pembayaran Indonesia 2025 yang secara signifikan menyoroti peran dan potensi digitalisasi sistem pembayaran untuk mendorong inklusi keuangan dan meningkatkan interoperabilitas.
Dalam konteks UMK, upaya digitalisasi didorong oleh pasar ritel mikro serta sektor makanan dan minuman. Namun peningkatan kinerja sektor pembayaran digital di Indonesia belum diimbangi oleh perlindungan data pribadi dan keamanan siber. Kedua hal ini bahkan belum diatur dalam undang-undang.
Kondisi ini menegaskan pentingnya bagi Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber. Dengan semakin berkembangnya ekonomi digital, fintech khususnya pembayaran digital menjadi penting dalam memajukan inklusi keuangan di Indonesia melalui inovasi di sistem pembayaran yang terdigitalisasi.
Sistim pembayaran yang awalnya didominasi lembaga perbankan, kini lebih inovatif, inklusif dan beragam berkat keterlibatan perusahaan fintech. Open banking bisa menjadi salah satu inisiatif berbasis teknologi untuk mengatasi inklusi keuangan dan sudah menjadi salah satu program strategis Bank Indonesia (BI) dalam Cetak Biru Sistem Pembayaran Indonesia 2025.
Open banking ini telah diterapkan di Indonesia sebagai salah satu bentuk kerja sama antara bank dan fintech, khususnya di bidang sistem pembayaran. Pada Agustus 2021, BI juga telah menetapkan ‘Standar Pembayaran Nasional Open Application Programming Interface’ (Standar Open API Indonesia) yang lebih dikenal dengan istilah SNAP berdasarkan Keputusan Gubernur BI No.23/10/KEP.GBI/2021.
Ini kemudian menjadi pedoman pembayaran Open API. Pemberlakuan SNAP menunjukkan standardisasi dan kesiapan regulasi yang progresif di ranah perbankan yang terbuka, meskipun cakupannya masih terbatas pada sistem pembayaran saja.
Kesimpulan
Pemerintah dapat membantu mempercepat transformasi di sektor ini dengan kesiapan regulasi dan juga peningkatan akses serta infrastruktur digital untuk menunjang kebijakan ini.
Peta Jalan Indonesia Digital 2021-2024 dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menetapkan empat pilar yang saling berhubungan dan diharapkan dapat mengakselerasi perkembangan ekosistem ekonomi digital dan meningkatkan inklusivitasnya. Keempat pilar tersebut adalah infrastruktur digital, pemerintahan digital, ekonomi digital, dan masyarakat digital.
Infrastruktur digital menjadi pondasi karena berkaitan erat dengan konektivitas digital. Ketimpangan akses akibat belum meratanya infrastruktur digital perlu terus ditangani. Kedua pilar berikutnya, pemerintahan digital dan ekonomi digital, dapat tumbuh jika didukung oleh infrastruktur yang memadai.
Pemerintah perlu menargetkan pengembangan kemampuan atau kapasitas masyarakat terkait adopsi teknologi dan pemanfaatan digitalisasi. Program-program dari Siberkreasi dan Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu diapresiasi karena telah membagi program secara spesifik ke dalam tiga kategori yaitu basic, intermediate, dan advanced skills program hingga akan memungkinkan terwujudnya transformasi digital yang inklusif. Transformasi digital yang inklusif merupakan salah satu tema utama dalam DigiWeek 2022 yang akan dihelat CIPS di pengujung Juli ini.