Ditulis oleh Rainer Heufers - Dipublikasikan pertama kali oleh Atlas Network
Pada awal bulan ini, saya diundang oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membicarakan tentang isu perdagangan pangan di Indonesia. Ketika saya bertanya apa yang menyebabkan harga bawang putih sangat mahal, mereka memberikan jawaban dengan cepat dan mudah: Covid-19. Sebanyak 90% bawang putih Indonesia berasal dari Cina. Penyebaran Covid-19 membuat Cina menerapkan lockdown atau karantina wilayah. Hal ini menyebabkan berkurangnya suplai bawang putih. Sebagian besar rakyat Indonesia akan memberikan jawaban yang sama, tetapi kenyataan ini tidak membuat jawaban tersebut benar.
Penyebab sesungguhnya dari mahalnya harga bawang putih adalah kebijakan pembatasan impor yang diterapkan pemerintah Indonesia. Untuk mengimpor bawang putih, importir-importir Indonesia harus memperoleh Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) dari pemerintah. Dokumen ini hanya akan dikeluarkan apabila importir telah menanam 5% dari total volume impor yang mereka ajukan. Masalahnya adalah para importir bukanlah petani. Mereka bisa bekerja sama dengan petani-petani lokal tetapi hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah lain, yaitu cuaca. Bawang putih memerlukan udara yang dingin dan tumbuh dengan baik pada iklim subtropis. Indonesia, sebagai negara tropis, tidak memiliki musim dingin. Tidak mengherankan apabila para importir gagal untuk memenuhi kewajiban menanam tersebut. Akhirnya mereka kehilangan surat izin impor, memulai perusahaan baru, mengajukan surat izin impor yang baru, kembali gagal dan ‘permainan’ ini terus berjalan dengan pemain-pemain yang sama, yang telah memahami peraturan-peraturan yang ada.
Margin keuntungan dalam kasus ini sangat besar. Harga bawang putih Cina biasanya sebesar Rp7.200,00 per kilogram dan dijual di Indonesia sebesar Rp26.600,00 per kilogram. Pada saat ini, harga eceran di Indonesia berada pada kisaran Rp75.000,00 per kilogram. Cina mungkin telah menaikkan harga grosir mereka selama wabah Covid-19, akan tetapi prospek windfall profit (keuntungan tiba-tiba) menghalangi para importir yang sudah mapan dalam upaya mencari sumber-sumber yang beragam. Hal ini akan terus terjadi selama sistem perizinan impor bersifat sangat membatasi, sehingga ‘mengeluarkan’ para importir dan bawang putih dari negara-negara lain dari pasar.
Bawang putih mengilustrasikan kasus yang dibuat oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), yaitu pembatasan impor merugikan konsumen Indonesia. Harga berbagai komoditas pangan lainnya juga mahal. Ketika ketersediaan gula di pasar menjadi langka pada awal bulan ini, para konsumen dan pelaku bisnis kecil terbebani dengan harga gula yang tidak terjangkau. Bawang merah bisa mencapai sekitar Rp152.230,00 per kilo.
CIPS mengamati harga-harga pangan dalam indeks bulanan (lihat infografik) dan membandingkannya dengan harga di negara-negara tetangga. Pada bulan Maret, harga gula di Indonesia lebih mahal jika dibandingkan dengan di Filipina, Singapura, Thailand dan Malaysia. Harga bawang putih dan telur di Indonesia juga lebih mahal dibandingkan dengan Singapura, sebuah negara yang ‘sangat kaya’ dan mengimpor seluruh suplai pangannya. Pada bulan Februari dan Maret, rakyat Indonesia biasa dapat menyimpan Rp 1 juta atau USD 65 jika membeli bahan pangan dengan harga pangan semurah di luar negeri. Harga ini terlalu mahal untuk rumah tangga yang tergolong miskin, dengan penghasilan bulanan yang hanya berjumlah Rp1.522.300,00. Menjelang datangnya Ramadan dan Idul Fitri yang hanya tinggal beberapa minggu lagi, situasi ini akan bertambah buruk.
CIPS termotivasi oleh rancanga Omnibus Law baru dari pemerintah Indonesia yang dapat mendatangkan perubahan-perubahan yang diperlukan. Peraturan-peraturan yang berlaku pada saat ini menyatakan bahwa permintaan bahan pangan domestik harus dipenuhi oleh suplai domestik dan impor hanya diizinkan kalau produksi domestik tidak mencukupi. Melepaskan diri dari paradigma ini, Omnibus Law yang baru menyatakan bahwa permintaan domestik harus dipenuhi oleh suplai domestik DAN IMPOR. Hanya dibutuhkan dua kata tambahan yang bisa membuat perubahan penting. CIPS sangat bersemangat karena kami telah mengkampanyekan hal ini selama bertahun-tahun untuk mendatangkan perubahan. Akan tetapi, kami masih berhati-hati dan masih harus memantau apakah RUU tersebut akan benar-benar disetujui untuk menjadi undang-undang.
Kemudian datanglah Covid-19 yang membuat tingkat darurat yang baru. Baru-baru ini, Indonesia mulai memeriksa rakyatnya dan pada 19 Maret, Indonesia memiliki tingkat kematian 8,37%, lebih tinggi dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Ini hanyalah permulaan dari krisis dan khalayak umum berhak untuk khawatir tentang suplai bahan pangan.
Untuk menghadapi situasi ini, pemerintah Indonesia melakukan sesuatu yang melawan prinsip proteksionis dan hal ini membuat kami senang. Pada 19 Maret, pemerintah memutuskan untuk menghilangkan kebijakan RIPH yang bersifat membatasi tersebut dari persyaratan impor untuk beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai cayenne, daging sapi/kerbau, daging ayam, telur ayam, gula pasir dan minyak masak. CIPS melihat hal ini sebagai kemajuan yang besar. Akan tetapi, ini merupakan kebijakan sementara yang hanya akan berlaku hingga setelah Ramadan. Oleh karena itu, setiap hari, dengan bekerja dari rumah, CIPS mengeluarkan siaran pers, kadang-kadang beberapa kali dalam sehari, dan kami juga menulis artikel opini. Kami menyampaikan selamat kepada pemerintah dan meminta agar perdagangan untuk komoditas-komoditas pangan ini, juga komoditas pangan yang lainnya tetap dibuka secara permanen. Kami yakin perubahan ini akan membuktikan keuntungan dari membebaskan perdagangan bahan pangan dan perdagangan secara umum bagi konsumen Indonesia.
Di saat para ilmuwan sedang sibuk mencari vaksin untuk melawan Covid-19, dalam kebijakan publik, ‘penangkal’ terbaik untuk melawan kelangkaan bahan pangan adalah kompetisi, kewirausahaan, dan kebebasan untuk berdagang secara internasional.
Krisis yang sedang terjadi pada saat ini ternyata meyakinkan pemerintah Indonesia untuk mengikuti prinsip dasar ekonomi, yaitu perdagangan terbuka merupakan cara terbaik untuk menjamin akses terhadap bahan pangan berkualitas baik dan harga terjangkau. Di saat para ilmuwan sedang sibuk mencari vaksin untuk melawan Covid-19, dalam kebijakan publik, ‘penangkal’ terbaik untuk melawan kelangkaan bahan pangan adalah kompetisi, kewirausahaan, dan kebebasan untuk berdagang secara internasional. Bagi think tank kebijakan publik seperti CIPS, hal ini membuktikan kata-kata ‘keberuntungan adalah ketika kesempatan bertemu dengan persiapan’. CIPS selalu menekankan tentang harga bahan-bahan pangan yang tidak terjangkau dan kami menyalahkan kebijakan pembatasan impor yang merugikan untuk itu, bahkan ketika tidak ada pihak yang setuju. Krisis ini bisa jadi merupakan kesempatan bagi hal-hal yang telah kami persiapkan selama lima tahun terakhir.
Catatan:
1 USD = Rp15.223,00 (Sumber: Bank Indonesia, 18 Maret 2020)
コメント