top of page
Gambar penulisAditya Alta

Evaluasi Program Subsidi Pupuk 2021 dan Proyeksi ke Depan

Diperbarui: 12 Jun 2022

Pertama kali dipublikasikan di Kompas (21/12/21). Walaupun menyerap anggaran subsidi non-energi terbesar dengan rerata tahunan mencapai Rp 31,53 triliun di periode 2015-2020, subsidi pupuk tidak mampu meningkatkan produksi komoditas pangan pokok seperti beras. Untuk itu, jelas diperlukan reformasi kebijakan pupuk nasional secara fundamental, termasuk dengan mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap. Mekanisme alokasi subsidi dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan membayar selisih antara Harga Pokok Penjualan (HPP) dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang terjual kepada pelaksana subsidi pupuk, yaitu PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC). Dengan nilai anggaran yang cukup besar, efektivitas kebijakan subsidi pupuk seringkali menjadi sorotan, bahkan oleh presiden sendiri. Mari kita coba menilai capaian subsidi pupuk tahun 2021, proyeksi ke depan dan alternatif rekomendasi kebijakan untuk perbaikan. Realisasi subsidi pupuk tahun 2021 diperkirakan mencapai Rp29,06 triliun. Jumlah ini turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 34,24 triliun, salah satu realisasi subsidi pupuk terbesar sepanjang masa. Alokasi pupuk bersubsidi 2021 mencapai 10,54 juta ton. Namun demikian, per Oktober 2021, volume pupuk bersubsidi yang sudah disalurkan baru mencapai 6,25 juta ton, atau sekitar 59 persen saja. Dibandingkan periode Januari-Oktober 2020, realisasi volume penyaluran pupuk bersubsidi Januari-Oktober 2021 juga menunjukkan penurunan senilai 911,11 ribu ton. Kementerian Keuangan menjelaskan penurunan realisasi ini disebabkan adanya perbaikan dalam mekanisme penyaluran melalui peningkatan pengawasan dalam penebusan pupuk bersubsidi. Alokasi pupuk organik bersubsidi tahun anggaran 2021, menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 mencapai 2,27 juta ton, yang terdiri dari 1,50 juta ton pupuk organik cair dan 0,77 juta ton pupuk organik granul. Dengan kata lain, persentase pupuk organik hanya mencapai 21,54 persen alokasi pupuk bersubsidi. Hal ini menandakan masih berlanjutnya tren dominasi pupuk kimia, terutama urea, di dalam alokasi pupuk bersubsidi. Memang, terdapat proses produksi dan proses bisnis yang berbeda antara pupuk urea dan organik yang menyebabkan perbedaan kapasitas produksi. Produksi urea dilakukan sepenuhnya di pabrik modern. Sedangkan produksi pupuk organik masih mengikutsertakan usaha kecil dan komunitas petani atau peternak, terutama dalam penyediaan bahan organik. Sebagian komunitas petani juga sudah bisa menghasilkan pupuk organik sendiri, sehingga mengurangi keperluan subsidi. Walaupun begitu, modernisasi produksi pupuk organik tetap diperlukan untuk menjaga standar mutu dan kandungan hara pupuk organik. Berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK) pupuk bersubsidi tahun 2020, usulan kebutuhan terbesar datang dari petani subsektor tanaman pangan (padi dan palawija). Jika dikaitkan dengan sasaran produksi yang ingin dicapai melalui subsidi pupuk, berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 2020-2024, sasaran produksi padi untuk 2021 mencapai 62,50 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka sementara produksi padi 2021 adalah 55,27 juta ton GKG, menunjukkan bahwa target ini tidak tercapai. Tidak tercapainya sasaran produksi padi sudah terjadi dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2020, sasaran produksi padi adalah 59,15 juta ton GKG. Sementara realisasi produksi hanya 54,65 juta ton. Studi dari Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) sendiri menunjukkan tren produktivitas yang cenderung stagnan dari 2014-2019 untuk tanaman padi dan kedelai. Sementara produktivitas jagung cenderung meningkat. Terlepas dari tren produktivitas, anggaran subsidi pupuk yang cenderung meningkat setiap tahunnya menunjukkan kurangnya korelasi antara subsidi pupuk dan peningkatan produktivitas pertanian.

Kurang efektifnya kebijakan subsidi pupuk sudah dipahami banyak pihak, di antaranya oleh Komisi IV DPR. Pada tahun 2016, Pokja Khusus Perumusan Kebijakan Subsidi Pupuk bentukan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian merekomendasikan pengurangan pupuk secara bertahap. Namun usulan ini ditolak oleh DPR. APBN 2022 menetapkan alokasi subsidi pupuk sebesar Rp25,28 triliun, atau yang terendah sejak 2014. Namun, perlu diingat bahwa realisasi subsidi pupuk biasanya mengalami peningkatan karena pelunasan kekurangan pembayaran subsidi kepada PIHC pada tahun-tahun sebelumnya. Yang menarik, Renstra Kementerian Pertanian 2020-2024 memperkirakan kebutuhan subsidi pupuk akan terus berkurang setiap tahunnya, dari Rp26,60 triliun pada 2020, menjadi Rp23,10 triliun pada 2021, dan terus menurun hingga Rp15,40 triliun pada 2024. Sebagaimana dijelaskan di atas, realisasi subsidi pada tahun 2020 dan 2021 justru melonjak mencapai 30 triliun. Melihat tren di atas, outlook kebijakan subsidi pupuk dalam jangka pendek belum menunjukkan potensi perubahan yang signifikan, seperti pengurangan anggaran secara drastis atau realokasi subsidi ke bidang lain. Prioritas kebijakan dalam beberapa tahun ke depan tampak difokuskan pada perbaikan mekanisme penebusan melalui Kartu Tani, dengan target penerapan secara nasional pada tahun 2024. Masalahnya, adopsi Kartu Tani oleh petani berjalan sangat lamban. Pada 2020, jumlah Kartu Tani tercetak mencapai 9,30 juta kartu (66,91 persen dari total 13,90 juta petani calon penerima di e-RDKK), Kartu Tani yang sudah didistribusikan mencapai 6,20 juta kartu (44,60 persen calon penerima). Sedangkan yang sudah digunakan petani baru mencapai 1,20 juta kartu (8,63 persen). Ke depannya, kebijakan pemerintah terkait input pertanian, terutama pupuk, perlu menargetkan reformasi secara fundamental. Perlu diingat bahwa subsidi pupuk bukanlah bantuan sosial, melainkan instrumen untuk mendorong investasi petani pada sarana pertanian untuk meningkatkan produktivitas.

Untuk jangka panjang, pemerintah perlu merancang mekanisme evaluasi pemberian subsidi, menetapkan indikator “kelulusan” seorang petani atau suatu wilayah penerima subsidi, serta menargetkan deadline pencabutan subsidi. Namun hal ini mensyaratkan data pertanian yang akurat yang selalu diperbarui untuk memonitor pendapatan dan harga-harga di tingkat petani. Tidak kalah penting, kebijakan di sisi suplai turut diperlukan untuk meningkatkan kompetisi antarprodusen pupuk dan memastikan harga pupuk yang terjangkau berdasarkan mekanisme pasar.

Comments


bottom of page