Peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-77 pada Agustus 2022 ini merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan kualitas kebebasan rakyat Indonesia di berbagai bidang, termasuk dalam ketahanan pangan serta pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi warga negara.
“Sejauh manakah rakyat Indonesia sudah merdeka dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi?” adalah pertanyaan yang muncul ketika kita menelaah keseimbangan asupan pangan penduduk Indonesia serta bagaimana kebijakan pertanian dan perdagangan dapat menghambat akses terhadap pangan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman (B2SA).
Agency dan Bias Kebijakan
Konsep “kebebasan” atau “kemerdekaan” memang jarang dikaitkan dengan isu pangan dan gizi. Namun sebenarnya konsep ini sangat sentral dalam ketahanan pangan.
Sejak tahun 2020, High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition (HLPE), sebuah badan yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang melakukan analisis kebijakan saintifik terkait ketahanan pangan dan gizi dunia, memasukkan dua dimensi baru dalam analisis ketahanan pangannya.
Salah satunya adalah agency, merujuk pada kapasitas individu atau kelompok untuk memutuskan secara mandiri jenis makanan apa yang mereka makan, produksi serta cara memproduksi, mengolah, dan mendistribusikannya di dalam sistem pangan; serta kemampuan mempengaruhi kebijakan dan tata kelola sistem pangan.
Kadar agency atau kemandirian warga negara ini dapat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain pengentahuan mengenai asupan pangan yang bermutu dan bergizi seimbang serta kemampuan dan memiliki sumber daya untuk memproduksi atau mengakses pangan.
Agency memberikan kebebasan pada individu dalam memenuhi kebutuhannya dan hal ini berimplikasi pada berbagai area kebijakan, seperti pelabelan produk pangan sesuai kandungan gizinya, kepemilikan lahan untuk pertanian hingga daya beli.
Di lain pihak, agency warga negara juga dipengaruhi dan dibatasi oleh aktor dan proses yang memiliki kuasa di dalam sistem pangan, termasuk kebijakan publik.
Kebijakan pertanian dan perdagangan di Indonesia turut memengaruhi akses dan konsumsi pangan melalui keputusan-keputusan yang memiliki bias terhadap produksi domestik komoditas tertentu. Kebijakan pertanian sangat dipengaruhi prioritas menyangkut ketersediaan (availability) pangan, terutama beras, dari produksi domestik.
Bias ini tergambar di sepanjang sejarah kebijakan pertanian dan ketahanan pangan, mulai dari Revolusi Hijau tahun 1970-1980an yang bergantung pada varietas unggul padi, target swasembada beras hingga hari ini, pengembangan sistem irigasi, program cetak sawah termasuk pada lahan rentan seperti gambut, hingga program pupuk bersubsidi yang sebagian besarnya dikonsumsi oleh komoditas padi sawah.
Target produksi pangan dari pertanian domestik turut didukung tata kelola perdagangan yang bertujuan memastikan kecukupan suplai domestik melalui penerapan kuota berdasarkan neraca komoditas tanpa mempertimbangkan aspek harga.
Rendahnya Keragaman Asupan dan Tingginya Malnutrisi
Dampak tidak langsung dari bias kebijakan terhadap akses dan pola konsumsi masyaraka dapat dilihat, misalnya, dari data Food Balance Sheet dari Food and Agriculture Organization (FAO) yang memperlihatkan suplai energi per kapita per hari menurut ketersediaan kelompok pangan di masyarakat dari dekade ke dekade (Gambar 1).
Kesimpulan yang dapat dipetik adalah bahwa jumlah kalori yang tersedia per orang terus mengalami peningkatan dan sejak dekade 1980an sudah melebihi angka kecukupan energi yang dianjurkan Kementerian Kesehatan, yaitu 2100 kkal per hari. Jadi, secara nasional Indonesia sudah lama tidak mengalami masalah ketersediaan pangan.
Kedua, dengan proporsi lebih dari 40 persen, beras masih mendominasi asupan kalori yang tersedia, walaupun proporsinya terus menurun.
Ketiga, proporsi jagung dan olahannya, kacang-kacangan, dan umbi-umbian cukup besar (34 persen) pada 1961-1970. Namun proporsi ini turun, tidak sampai 20 persen, pada 2011-2019.
Hal ini menandakan peralihan pola asupan masyarakat dari berbagai pangan lokal menjadi dominan beras. Gambaran lebih positif datang dari daging, buah, sayur, serta gandum dan olahannya yang proporsinya terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Di sisi lain, malnutrisi masih menjadi isu penting dalam kesejahteraan masyarakat. Menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), tingkat stunting untuk anak di bawah lima tahun (balita) adalah sebesar 24,4 persen. Angka tersebut masih jauh dari standar World Health Organization (WHO) yaitu di bawah 20 persen.
Meskipun terjadi penurunan angka stunting tahunan sebesar dua persen dari 2013-2021, sebanyak 27 provinsi di Indonesia masih dikategorikan sebagai daerah gizi akut kronis (stunting >20% dan wasting >5%).
Selain sanitasi, prevalensi malnutrisi berkaitan dengan akses terhadap pangan yang sehat dan bergizi seimbang. Menurut WHO, makanan sehat dapat menurunkan tingkat malnutrisi dan mencegah berbagai penyakit dalam seperti jantung, stroke, kanker dan diabetes.
Makanan sehat adalah yang memenuhi kecukupan kebutuhan kalori dan nutrisi, serta mencakup asupan yang beragam dari beberapa kelompok makanan berbeda. Studi global menunjukkan bahwa keragaman makanan dapat meningkatkan status gizi, menghasilokan badan yang ideal dan menumbuhkan gaya hidup sehat.
Keberagaman pangan dalam asupan gizi masyarakat seperti konsumsi sayur dan buah perlu ditingkatkan untuk mempercepat penurunan tingkat malnutrisi, khususnya stunting di Indonesia.
Demi mewujudkan kemerdekaan pangan dan gizi, kebijakan pertanian dan perdagangan perlu memerhatikan dimensi-dimensi ketahanan pangan selain ketersediaan.
Pemerintah perlu menghindari insentif dan intervensi yang bersifat top-down dan ditujukan untuk meningkatkan ketersediaan komoditas tertentu, terutama beras, dan perlu lebih memberdayakan potensi pangan lokal dan inisiatif pertanian rakyat.
Artikel ini ditulis juga oleh Rachma Auliya, Research Trainee CIPS
Comments