top of page

Menavigasi Inovasi: Perjalanan Regulatory Sandbox Indonesia

Diperbarui: 11 Okt

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Tech for Good Institute pada bulan Oktober 2024.


Sektor teknologi finansial (fintech) Indonesia sedang mengalami pertumbuhan pesat yang didorong oleh meningkatnya penetrasi digital, fasilitasi regulasi, dan keterlibatan positif investor. Regulatory sandbox (ruang uji coba terbatas) telah menjadi instrumen kebijakan yang krusial untuk menggiatkan inovasi sekaligus memastikan pengawasan regulasi, khususnya di sektor digital Indonesia yang tengah berkembang. Laporan Tech for Good Institute (TFGI), "Sandbox bagi Masyarakat: Membina Inovasi di Asia Tenggara", memberikan wawasan mendalam terkait regulatory sandbox di Asia Tenggara sebagai kerangka yang solid untuk menganalisis perjalanan Indonesia, pelajaran yang dapat dipetik, serta potensi implikasinya di masa mendatang.


Kondisi Regulatory Sandbox di Indonesia Saat ini

Sejak penerapan regulatory sandbox untuk pertama kalinya pada 2017–2018, baik Bank Indonesia (BI)—bank sentral yang mengawasi pembayaran digital—maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang mengawasi inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) dan industri keuangan nonperbankan, telah mencatat kemajuan yang signifikan. Inisiatif-inisiatif yang mereka lakukan telah membuahkan berbagai hasil yang berkelanjutan dan pelajaran berharga untuk menyusun strategi sandbox yang terkoordinasi di masa depan.


Pada 2021, BI meluncurkan Sandbox 2.0, dengan tiga fungsi yang lebih luas: laboratorium inovasi (Innovation Lab), uji coba industri (Industrial Sandbox), dan regulasi (Regulatory Sandbox). Pada saat yang sama, OJK menerbitkan regulasi baru yang bertujuan memperbaiki kelemahan-kelemahan kerangka kerja sebelumnya. Regulasi yang diperbarui ini memperbaiki kriteria kelayakan, memperjelas hasil yang diharapkan, serta menetapkan kebijakan mekanisme keluar (exit policy) yang lebih kuat sehingga menyederhanakan proses sandbox dan memberikan pedoman yang lebih jelas bagi para perusahaan yang berpartisipasi.


Memahami adanya tumpang tindih wewenang dalam regulasi sektor fintech, Pemerintah Indonesia kini tengah mempelajari pembuatan “sandbox terkoordinasi” yang melibatkan BI dan OJK. Inisiatif ini mengakui bahwa banyak inovasi fintech berada di bawah pengawasan dua lembaga tersebut. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta iklim regulasi yang lebih kohesif.


Selain di sektor fintech, regulatory sandbox juga telah diterapkan di industri kesehatan. Pada April 2023, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia membuka kembali Program Regulatory Sandbox Inovasi Digital Kesehatan, dengan fokus pada diagnostik medis. Ekspansi ini menunjukkan fleksibilitas pendekatan sandbox dan potensi penerapannya di berbagai sektor.


Berbagai Tantangan dalam Lanskap Regulatory Sandbox

Sejak diresmikannya sandbox fintech OJK pada 2018, terdapat 458 permohonan dari berbagai model bisnis fintech untuk mengujicobakan inovasinya. Dari 2023 hingga 2024, OJK memadatkan klaster fintech yang awalnya berjumlah 15 menjadi hanya dua klaster utama: penilaian kredit inovatif (innovative credit scoring) dan agregator. Per Juli 2024, lebih dari 90 penyelenggara ITSK berminat untuk masuk regulatory sandbox OJK, dengan 35 penyelenggara direkomendasikan melakukan pendaftaran dan satu penyelenggara telah terdaftar di OJK.


Kendati demikian, studi Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) pada 2023 mengidentifikasi sejumlah tantangan utama dalam implementasi regulatory sandbox. Tantangan-tantangan tersebut, yang juga relevan di negara ASEAN lainnya, disoroti dalam laporan TFGI. Salah satunya adalah peluang berusaha yang tidak setara (uneven playing field), di mana sandbox terindikasi lebih mendukung penyelenggara yang ditunjuk sebagai “prototype” sehingga menghalangi partisipasi secara lebih luas dan pertukaran informasi.


Selain itu, kurangnya kejelasan dalam proses sandbox berdampak terhadap hasil yang diharapkan dan mekanisme keluar. Hal tersebut dapat merongrong legitimasi regulator dan peserta regulatory sandbox di mata investor dan mitra.


Salah satu tantangan besar lainnya adalah kurangnya sumber daya dan keahlian yang dimiliki lembaga-lembaga regulator. Keberhasilan regulatory sandbox bergantung kepada sumber daya, keterampilan, dan keahlian teknis, yang sering kali masih kurang memadai, sehingga menyebabkan pertukaran informasi yang kurang lengkap dan lambatnya pemberian umpan balik (feedback) kepada para pesertanya.


Peluang-Peluang Selain Sandbox yang Berfokus pada Inovasi

Laporan TFGI tentang regulatory sandbox di Asia Tenggara menyajikan wawasan berharga yang dapat menjadi landasan guna memperbaiki pendekatan yang digunakan Pemerintah Indonesia. Laporan tersebut memperkenalkan tipologi sandbox, yang memberikan kerangka untuk memahami kondisi saat ini maupun potensi regulatory sandbox di masa depan.


Fokus utama regulatory sandbox di Indonesia adalah pada inovasi dan pendekatan yang bersifat konsultatif, serupa dengan tren yang dapat dilihat di enam negara Asia Tenggara secara luas (SEA-6). Tujuan sandbox adalah memungkinkan model bisnis baru atau perusahaan startup untuk mengujicobakan produknya di dunia nyata di bawah pengawasan regulasi. Akan tetapi, sandbox yang ada lebih berfokus pada memberikan nasihat kepada perusahaan agar patuh dengan regulasi yang berlaku, alih-alih menyesuaikan regulasi dengan inovasi.


Meski memungkinkan pengujicobaan gagasan-gagasan baru, pendekatan ini membatasi potensi sandbox untuk mengatasi hambatan regulasi atau mendorong perubahan regulasi. Suatu inovasi dianggap berhasil dan “lolos” dari sandbox jika mematuhi regulasi yang ada.

Namun, pendekatan yang berfokus pada kepatuhan terhadap regulasi ini justru tidak selalu memfasilitasi pengembangan regulasi yang dibutuhkan untuk menyeimbangi kemajuan teknologi yang pesat. Alhasil, potensi regulatory sandbox sebagai instrumen inovasi kebijakan justru terhambat.


Fokus Indonesia pada inovasi dan pendekatan yang bersifat penasihat memang selaras dengan praktik-praktik yang umum diterapkan, tetapi ada potensi untuk mengembangkan pemanfaatan sandbox dengan belajar dari berbagai pengalaman di SEA-6. Sebagai contoh, beberapa negara di kawasan ini telah menggunakan sandbox tidak hanya untuk mengujicobakan inovasi, tetapi juga sebagai instrumen untuk mempelajari regulasi dan mengembangkan kebijakan.


Indonesia dapat mengadopsi perspektif yang lebih luas ini untuk meningkatkan dampak inisiatif-inisiatif sandbox-nya, terutama dalam meregulasi berbagai teknologi yang sedang berkembang (emerging technologies), seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI), drone, mobil pintar, atau kota cerdas (smart city). Pemerintah perlu mengambil pendekatan yang mengantisipasi inovasi teknologi-teknologi ini di masa depan, alih-alih hanya memastikan kepatuhannya terhadap regulasi.


Perhatian lebih lanjut juga perlu diarahkan kepada upaya kolaborasi lintas negara terkait inisiatif sandbox, khususnya dalam konteks Perjanjian Kerangka Kerja Ekonomi Digital (Digital Economy Framework Agreement) ASEAN. Laporan TFGI menunjukkan bahwa kerja sama regional dapat mempercepat pemahaman dan mendorong harmonisasi pendekatan regulasi.

Indonesia dapat menggali peluang-peluang berbagi pengetahuan dan inisiatif sandbox yang dapat dilaksanakan secara kolaboratif dengan negara Asia Tenggara lainnya, misalnya di bidang sistem pembayaran yang akan memfasilitasi pembayaran lintas negara sekaligus mengatasi isu pelindungan konsumen dan kedaulatan data (data sovereignty).


Rekomendasi untuk Mengoptimalkan Inovasi Kebijakan

Berdasarkan pelajaran-pelajaran yang dipetik dari pengalaman di kawasan Asia Tenggara secara luas, Indonesia dapat memperbaiki pendekatan sandbox-nya dengan memosisikan diri sebagai inovator regulasi, sembari mengatasi tantangan-tantangan unik yang dihadapi. Untuk mewujudkan hal tersebut, kami mengusulkan rekomendasi-rekomendasi berikut.

  • Memperkuat Fondasi Kelembagaan dan Landasan Hukum: Indonesia dapat belajar dari model-model yang telah berhasil di negara-negara lain, seperti Singapura atau Malaysia, khususnya terkait sandbox lintas sektor. Pengintegrasian mekanisme sandbox ke dalam proses pengembangan regulasi pada tingkat yang lebih tinggi dapat membantu mengatasi persoalan koordinasi antarlembaga.

  • Memperbaiki Desain Sandbox dengan Tujuan yang Lebih Jelas: Berdasarkan perbaikan yang dilakukan OJK baru-baru ini, terdapat peluang untuk menyempurnakan tujuan regulatory sandboxes lebih dari sekadar meningkatkan kepatuhan, yakni dengan berfokus pada penyesuaian dan antisipasi regulasi untuk mendorong inovasi dan regulasi yang efektif.

  • Menggali Alternatif Pendekatan Inovasi Kebijakan: Meski sangat bermanfaat, sandbox tidak dapat diaplikasikan secara universal. Sangatlah penting untuk menumbuhkan semangat kolaborasi antara regulator dan perusahaan, dengan memprioritaskan inovasi serta melindungi konsumen dan kepentingan masyarakat.

  • Meningkatkan Kolaborasi Lintas Negara: Kolaborasi lintas negara terkait inisiatif sandbox merupakan hal yang sangat krusial, terutama di kawasan ASEAN. Indonesia dapat memanfaatkan kerja sama regional dalam hal inisiatif sandbox, terutama di bidang-bidang seperti sistem pembayaran, untuk memfasilitasi pembayaran lintas negara sekaligus mengatasi persoalan pelindungan konsumen dan kedaulatan data.


Sebagai kesimpulan, perjalanan Indonesia dalam mengembangkan regulatory sandbox telah memperlihatkan komitmennya untuk memupuk inovasi, tetapi tetap menjaga pengawasan regulasi. Upaya-upaya yang telah dilakukan BI dan OJK untuk menyempurnakan kerangka sandbox menunjukkan bahwa mereka sangat mengakui pentingnya instrumen ini untuk menunjang sektor fintech dan digital yang berkembang pesat. Namun, seiring dengan hal tersebut, terdapat kebutuhan mendesak untuk memperluas ruang lingkup dan manfaat sandbox lebih dari sekadar meningkatkan kepatuhan, serta menggunakan sandbox sebagai instrumen inovasi kebijakan secara lebih luas.


Tentang penulis:

62 tampilan

Comments


Commenting has been turned off.
bottom of page