top of page

Kebijakan Perdagangan Pangan Ramah Gizi, Kunci Tekan Angka Stunting di Indonesia

Upaya untuk menurunkan angka stunting masih menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya adalah regulasi perdagangan pangan yang tidak mendukung terbukanya akses masyarakat kepada pangan yang bergizi dan terjangkau.


“Alih-alih memastikan harga pangan tetap stabil dan terjangkau, berbagai kebijakan justru menciptakan hambatan yang membuat masyarakat kesulitan mendapatkan gizi seimbang. Jika kebijakan ini tidak segera dievaluasi, target pemerintah untuk menekan prevalensi stunting hingga 18% di 2025 bisa terhambat,” jelas Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta.


Stunting masih menjadi permasalahan serius di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,5% pada tahun 2023. Stunting tidak hanya berdampak pada pertumbuhan fisik anak, tetapi juga perkembangan kognitif dan produktivitas di masa depan. Untuk menurunkan angka ini, akses masyarakat terhadap pangan bergizi dengan harga terjangkau menjadi kunci utama.


Namun, kebijakan perdagangan pangan yang diterapkan saat ini justru memperburuk kondisi tersebut.  Contohnya adalah penerapan kebijakan hambatan non-tarif (NTM) dan pembatasan impor. Berdasarkan temuan studi CIPS, kebijakan ini menyebabkan harga pangan dalam negeri naik hingga 67,2% lebih tinggi dibandingkan harga internasional. 


Ketidakstabilan pasokan pangan akibat kebijakan ini memperparah fluktuasi harga dan semakin membebani daya beli masyarakat. Akibatnya, banyak keluarga yang tergolong ke dalam masyarakat berpenghasilan rendah sulit memenuhi kebutuhan gizi harian mereka. Mereka harus menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan.


“Permintaan pangan yang terus meningkat seharusnya diimbangi dengan kebijakan yang memastikan ketersediaan dan stabilitas harga. Sayangnya, regulasi yang ada seringkali justru membatasi pasokan, membuat harga melonjak, dan memperburuk akses masyarakat terhadap pangan bergizi,” ujar Aditya Alta, Head of Agriculture Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)


CIPS menekankan, reformasi kebijakan perdagangan pangan sangat diperlukan untuk menurunkan harga pangan, meningkatkan status gizi masyarakat dan mendorong upaya untuk mengurangi prevalensi stunting di Indonesia.


CIPS merekomendasikan beberapa langkah konkret yang dapat diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. Pertama, pemerintah perlu mengevaluasi berbagai restriksi dan hambatan dalam perdagangan pangan yang diterapkan saat ini.Ketersediaan dan keterjangkauan pangan harus menjadi prioritas utama dalam formulasi kebijakan, agar setiap lapisan masyarakat memiliki akses terhadap pangan bergizi.


Kedua, penerapan Regulatory Impact Assessment (RIA) harus dilakukan secara sistematis sebelum menetapkan kebijakan baru, agar dampaknya terhadap akses masyarakat terhadap pangan bergizi dapat diantisipasi. 


RIA dapat memberikan informasi potensi keuntungan dan kerugian suatu kebijakan serta dampaknya pada industri, masyarakat dan ekonomi. Penerapan RIA dilakukan bersama tinjauan berkala atas seluruh kebijakan non-tarif, yang direncanakan maupun sudah berjalan.


Ketiga, regulasi perdagangan yang telah berjalan harus ditinjau secara berkala untuk memastikan kebijakan tetap relevan dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan masyarakat.


“Dengan kebijakan perdagangan yang lebih fleksibel dan berbasis data, Indonesia dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap pangan bergizi, mengurangi angka stunting, dan menciptakan generasi yang lebih sehat serta produktif di masa depan,” tutup Aditya.

Comentarios


Los comentarios se han desactivado.
  • Youtube CIPS
  • Twitter CIPS
  • Instagram CIPS
  • LinkedIn CIPS
  • Email CIPS
bottom of page